Kajian Al-Qur’an

Iqro Class, Masjid Darussalam, Patra Kuningan.

Tanda Allah Menginginkan Kebaikan Pada Hamba-Nya

Barangsiapa mengerjakan kebajikan maka itu adalah untuk dirinya sendiri, dan barangsiapa mengerjakan kejahatan, maka itu akan menimpa dirinya sendiri, kemudian kepada Tuhanmu kamu dikembalikan.” QS. Al-Jasiyah [45]:15.

 

Cintakah Allah Kepada Kita?

Dicintai Allah, Sang Pencipta. Makhluk mana yang tidak ingin disukai penciptanya?

Tentu dicintai oleh Rabb Semesta Alam adalah suatu keinginan setiap hamba-Nya yang beriman. Tidakkah kita senang, jika kita sebagai makhluk-Nya yang selalu berbuat khilaf dan sering berperilaku zhalim ini tetiba mendapati kenyataan bahwa diri kita disayang dan dicintai oleh Allah SWT, Dzat yang menciptakan kita itu?

Ada beberapa tanda Allah SWT mencintai hamba-hamba-Nya. Tanda-tanda cinta dan kasih sayang dari Allah itu terlihat terutama ketika ada perubahan dalam diri seorang hamba, dengan tumbuhnya sifat-sifat kebaikan dalam setiap tutur kata dan seluruh perilaku keseharian seorang hamba.

Setidaknya, terdapat tiga tanda kecintaan Allah pada diri seorang hamba, yang jika tanda ini muncul, maka itu berarti Allah SWT menginginkan kebaikan pada diri hamba-Nya yang terpilih itu.

Ciri-ciri atau tanda kecintaan Allah SWT pada seorang hamba itu akan terlihat ketika seorang hamba Allah itu mempunyai beberapa sifat berikut:

  1. Faqih dalam urusan agama.
  2. Zuhud terhadap urusan dunia.
  3. Mampu (hanya) melihat aib dan cela dalam diri sendiri.

Maka alangkah beruntungnya seorang hamba jika saja pada dirinya terdapat tanda-tanda kebaikan dari Rabb Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang itu.

 

Faqih Dalam Urusan Agama

Didalam sebuah hadist, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam bersabda:

مَنْ يُرِدِ اللهُ بِهِ خَيْرًا يُفَقِّهْهُ فِي الدِّيْنِ

Siapa yang Allah kehendaki kebaikan baginya, Allah pahamkan atasnya perihal agama.” (HR. Al-Bukhari dalam kitab Kutubul ‘Ilmy no. 71).

Dalam kalimat pertama pada hadits tersebut dijelaskan مَنْ يُرِدِ اللهُ بِهِ خَيْرًا “Siapa yang Allah kehendaki kebaikan atas dirinya”, tentu saja “baik” yang dimaksud dalam hadits ini adalah baik menurut Allah. Karena “baik” menurut manusia masih bersifat relatif. Sehingga “baik” yang dimaksud dalam hadits tersebut adalah sebuah kepastian karena bersifat mutlak.

Lalu, apa ciri orang-orang yang dikehendaki kebaikan oleh Allah?  Perhatikanlah kalimat berikutnya yaitu, يُفَقِّهْهُ فِي الدِّيْنِ “Allah pahamkan atasnya perihal agama”. Maka, salah satu ciri orang yang Allah kehendaki kebaikan atas dirinya adalah orang yang Allah pahamkan perihal agama.

Rasulullah bersabda menggunakan kata “yufaqqihu” (Dia pahamkan), bukan “yu’allimu” (Dia beri tahu). Dalam hal kandungan makna, kata “allim” masih berada di bawah kata “faqih”. Karena memahami itu lebih dari hanya sekedar mengetahui.

Kita ilustrasikan pada contoh hadist Nabi yang lain:

مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ اْلآخِرِ فَليَقُلْ خَيْرًا أَوْ لِيَصْمُت

Barang siapa yang beriman kepada Allah dan Hari Akhir, maka hendaklah ia berkata baik atau hendaklah ia diam.” (HR. Al-Bukhari, no. 6018; Muslim, no.47)

Ketika seseorang paham dan mengerti isi kandungan dari hadits di atas, maka bisa dipastikan orang tersebut akan berusaha untuk mengendalikan perkataannya agar yang keluar dari lisannya adalah perkataan yang baik-baik saja. Karena orang tersebut paham bahwa salah satu konsekuensi dari imannya kepada Allah dan hari akhir adalah menjalankan anjuran Rasulullah SAW yang terdapat dalam hadits tersebut, yaitu berkata yang baik atau diam.

Sedangkan jika seseorang itu hanya sekedar mengetahui hadits tersebut (saja), wajarlah jika ia masih belum bisa mengendalikan perkataannya. Bukan karena ia tidak memiliki iman, tetapi karena pengetahuannya tentang hadits tersebut belum sampai menggerakkan hatinya untuk menjalankan anjuran Rasulullah SAW yang terdapat dalam kandungan hadits tersebut.

Kita ambil contoh lain:

وَلاَ يَغْتِبْ بَعْضُكُمْ بَعْضًا أَيُحِبُّ أَحَدُكُمْ أَنْ يَأْكُلَ لَحْمَ أَخِيْهِ مَيْتًا فَكَرِهْتُمُوْهُ وَاتَّقُوْا اللهَ إِنَّ اللهَ تَوَّابٌ رَحِيْمٌ

Dan janganlah sebagian kalian mengghibahi sebagian yang lain. Sukakah salah seorang dari kalian memakan daging bangkai saudaranya yang telah mati, pasti kalian membencinya. Maka bertaqwalah kalian kepada Allah, sungguh Allah Maha Menerima taubat dan Maha Pengasih”. (QS. Al-Hujurat [49]:12)

Jika seseorang paham akan isi kandungan ayat tersebut, maka ia akan merasa ngeri dan jijik ketika hendak mengghibahi saudaranya. Mengapa? Karena ia paham bahwa menggibahi saudaranya sama halnya memakan bangkai saudaranya yang ia ghibahi.

Tetapi betapa banyak orang yang mengetahui ayat tersebut, namun hari-harinya diisi dengan menggibahi saudaranya. Itu karena mereka hanya sekadar tahu tentang ayat tersebut, dan pengetahuan mereka belum sampai meyakini bahwa memang yang terdapat dalam ayat tersebut adalah suatu kebenaran.

Jadi, seseorang yang Allah kehendaki kebaikan atas dirinya, bukan orang yang hanya Allah beri pengetahuan tentang agama. Tetapi orang yang juga Allah pahamkan atasnya perihal agama.

Sungguhpun ada perbedaan pendalaman makna dari kata memahami dan mengetahui, tetap saja, seseorang yang mengetahui itu pasti lebih baik daripada seseorang yang tidak mengetahui apapun.

Pada hakikatnya, seseorang yang berpengetahuan itu:

  1. Tidak sama dengan orang yang tidak mengetahui QS. Az-Zumar [39]:9.
  2. Derajatnya lebih tinggi dibandingkan manusia lain QS. Al-Mujadilah [58]:11.
  3. Takut (akan adzab) Allah QS. Fatir [35]:28.

Tanggapan Allah SWT terhadap pentingnya memiliki ilmu:

1. Nabi-Nya diperintahkan untuk meminta tambahan ilmu QS. Thaha [20]:114.

2. Umat Muslim diperintahkan Allah, agar bertanya kepada para Ahli Ilmu jika memang ada suatu perkara (ilmu) yang tidak diketahui QS. An-Nahl [16]:43.

3. Ilmu yang dipertanyakan hendaklah tidak hanya menyangkut urusan dunia saja tapi juga urusan akhirat, sebab kebanyakan manusia seakan-akan pandai akan urusan (dunia)nya, namun hanya sedikit yang mengetahui tentang urusan akhirat QS. Ar-Rum [30]:6-7.

 

Zuhud Terhadap Urusan Dunia

Menurut ulama Abu Sulaiman Ad Daroni, Zuhud bermakna “meninggalkan berbagai hal yang dapat melalaikan diri dari mengingat Allah SWT.”

Dari definisi ini, sifat zuhud terhadap urusan dunia bukan berarti kita tidak diperbolehkan kaya. Pun bukan berarti kita harus hidup miskin, enggan mencari nafkah dan hidup menderita.

Zuhud adalah perbuatan hati, dimana hati kita meyakini bahwa apa yang ada di sisi Allah itu lebih baik dibandingkan dengan apa yang ada di sisi manusia. Salah seorang sahabat Bernama Abu Dzar radhiyallahu ‘anhu berkata:

“Zuhud terhadap dunia bukan berarti mengharamkan yang halal dan bukan juga menyia-nyiakan harta. Akan tetapi zuhud terhadap dunia adalah engkau begitu yakin terhadap apa yang ada di tangan Allah daripada apa yang ada di tanganmu. Zuhud juga berarti ketika engkau tertimpa musibah, engkau lebih mengharap pahala dari musibah tersebut daripada kembalinya dunia itu lagi padamu.”

Maka, ketika ada seorang hamba yang tertimpa musibah dalam hal keduniawian, seperti hilangnya harta benda, atau berpulangnya salah satu kerabat / keluarganya, maka ia lebih mengharap pahala Allah dari musibah yang menimpanya tersebut daripada ia berlarut-larut dalam kesedihan atas musibah yang dialaminya itu.

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hal ini telah mengajarkan do’a yang sangat bagus kandungannya, yaitu berisi permintaan menumbuhkan rasa yakin pada Allah agar begitu ringan menghadapi musibah. Do’a tersebut adalah:

اللَّهُمَّ اقْسِمْ لَنَا مِنْ خَشْيَتِكَ مَا يَحُولُ بَيْنَنَا وَبَيْنَ مَعَاصِيكَ وَمِنْ طَاعَتِكَ مَا تُبَلِّغُنَا بِهِ جَنَّتَكَ وَمِنَ الْيَقِينِ مَا تُهَوِّنُ بِهِ عَلَيْنَا مُصِيبَاتِ الدُّنْيَا

Allaahummaqsim lanaa min khosy-yatika maa yahuulu bainanaa wa baina ma’aashiika, wa min thoo’atika maa tuballighunaa bihi jannatak, wa minal yaqiini maa tuhawwinu bihi ‘alainaa mushiibaatid dunyaa

Artinya:

(Ya Allah, curahkanlah kepada kepada kami rasa takut kepadaMu yang menghalangi kami dari bermaksiat kepadaMu, dan ketaatan kepadaMu yang mengantarkan kami kepada SurgaMu, dan curahkanlah rasa yakin yang dapat meringankan berbagai musibah di dunia)

(HR. Tirmidzi no. 3502. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan).

 

Mampu Melihat Aib Diri Sendiri

Diceritakan, bahwa ada seorang laki-laki datang kepada Rasulullah dan berkata, “Ya, Rasulullah. Aku pernah mengobati seorang perempuan di ujung Madinah lalu aku tidak sekedar menyentuhnya (maksudnya menzinainya), maka ini aku datang kepadamu. Berilah aku hukuman yang engkau kehendaki!”

Kemudian Umar Radhiyallahu anhu berkata, “Seandainya engkau menutupi dirimu, sungguh Allâh Azza wa Jalla telah menutupinya,” dan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam diam tidak menjawab, kemudian laki-laki itu berdiri dan pergi.

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam pun memerintahkan seseorang untuk menyusul dan memanggil laki-laki tadi, kemudian Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam membacakan padanya firman Allâh Azza wa Jalla:

“Dan dirikanlah shalat pada kedua tepi siang (pagi dan petang) dan pada bahagian permulaan malam. Sesungguhnya perbuatan-perbuatan yang baik itu menghapuskan (dosa) perbuatan-perbuatan yang buruk. Itulah peringatan bagi orang-orang yang ingat” (QS. Hud [11]:114)

Salah seorang sahabat bertanya, “Ya, Rasulullah, apakah ayat itu khusus untuk orang itu saja?” Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “(Tidak), akan tetapi untuk semua manusia”. [HR Muslim].

Kisah di atas memberikan hikmah kepada kita, bahwa:

  1. Jika sadar telah berbuat dosa dan mempunyai aib pada diri sendiri, secepatnya segera bertaubat dan memohon ampunan kepada Allah SWT sebab Allah Maha Menerima Taubat hamba-Nya QS. An-Nisa [4]:17.
  2. Selain taubat dan memohon ampunan kepada Allah, salah satu cara efektif untuk menghapus dosa adalah dengan mendirikan shalat, baik shalat fardhu maupun shalat sunnah, sebab shalat merupakan ibadah penolak perbuatan keji dan mungkar QS. Al-Ankabut [29]:45.
  3. Jika ada aib pada diri kita yang tertutup dengan rapat, pada hakikatnya Allah-lah yang sudah menutup aib kita itu dari pandangan manusia lainnya. Maka janganlah aib itu dibongkar oleh diri kita sendiri.
  4. Sebelum ada niat dalam diri untuk berbuat dosa, ingatlah ada malaikat yang mencatat semua perbuatan kita QS. Al-Infitar [82]:10-12.
  5. Jika kita lebih memperhatikan aib dalam diri sendiri, maka tidak akan tersisa waktu lagi untuk melihat aib dalam diri orang lain.
  6. Membicarakan aib orang lain = memakan bangkai QS. Al-Hujurat [49]:12.
  7. Jika kita membicarakan aib orang lain = Allah akan membongkar aib diri kita. Diriwayatkan oleh Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma, suatu hari Muhammad Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam naik ke atas mimbar, lalu menyeru dengan suara yang tinggi:

“Wahai sekalian orang yang mengaku berislam dengan lisannya padahal iman itu belum masuk ke dalam hatinya. Janganlah kalian menyakiti kaum muslimin! Janganlah menjelekkan mereka! Jangan mencari-cari kekurangan mereka! Sebab, barang siapa mencari-cari kekurangan saudaranya yang muslim, niscaya Allah akan mencari-cari kekurangannya. Barang siapa yang Allah cari-cari kekurangannya, niscaya Allah akan membongkar aibnya dan mempermalukannya, walaupun dia berada di dalam rumahnya.”

(HR. Tirmidzi no. 2032, Ibnu Hibban no. 5763).

  1. Jika kita menutup aib orang lain = Allah akan menutup aib diri kita, baik di alam dunia maupun di alam akhirat.

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

Barangsiapa melepaskan kesusahan seorang muslim dari kesusahan dunia, Allah akan melepaskan kesusahannya pada hari kiamat. Barangsiapa memudahkan orang yang susah, Allah akan mudahkan urusannya di dunia dan akhirat. Barangsiapa menutupi aib seorang, Allah akan menutupi aibnya di dunia dan akhirat. Allah akan senantiasa menolong hamba-Nya selama ia menolong saudaranya.” (HR. Muslim no. 2699)

 

Maka, jika ada tanda-tanda dari Allah yang sudah dijelaskan di atas (di-faqih-kan dalam urusan agama, zuhud terhadap urusan dunia dan diberi kemampuan untuk melihat aib hanya pada diri sendiri), berbahagialah dan bersyukurlah, sebab itu berarti diri kita sudah ‘terpilih’ oleh Allah untuk menjadi bagian dari hamba-hamba-Nya yang beriman dan beramal sholeh.

 

Wallahu a’lam bishawab.

Categories: Iqro Class

0 Comments

Leave a Reply

Avatar placeholder

Your email address will not be published. Required fields are marked *