Keteladanan Nabi Ibrahim ‘Alaihissalam
وَٱذْكُرْ فِى ٱلْكِتَٰبِ إِبْرَٰهِيمَ ۚ إِنَّهُۥ كَانَ صِدِّيقًا نَّبِيًّا
Ceritakanlah (Hai Muhammad) kisah Ibrahim di dalam Al Kitab (Al Quran) ini. Sesungguhnya ia adalah seorang yang sangat membenarkan lagi seorang Nabi. QS. Maryam [19]:41
Sang Kekasih Allah
Nabi Ibrahim ‘alaihissalam. Ada banyak cerita yang bisa dikisahkan dari sosok Nabi dan Rasul Allah yang satu ini. Nama besar beliau tidak pernah kita tinggalkan dalam setiap ibadah shalat setiap muslim, sebagaimana yang Allah SWT sebutkan dalam Kitab-Nya, QS. Ash-Shaffat [37]:108-109. Inilah satu-satunya nama nabi Allah yang selalu disandingkan dengan nama manusia mulia lainnya yang juga senantiasa kita sanjung dalam shalat (maupun di luar shalat) kita, yaitu nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wasallam.
Penyebutan nama beliau (Ibrahim) yang berulang-ulang itu tidak hanya ada dalam shalat saja, namun juga terdapat dalam Kitab Allah yang mulia, yaitu Al-Qur’an Al-Karim. Tercatat, nama beliau disebutkan secara berulang sebanyak 69 kali di dalam Kalam Ilahi tersebut, yang tersebar di 24 surah yang berbeda. Bahkan, nama beliau pun diabadikan menjadi nama surah, yaitu surah ke 14 (Ibrahim) di dalam mushaf Al-Qur’an.
Betapa mulianya hamba Allah yang satu ini. Maka tentulah wajar jika Allah SWT memerintahkan agar sosok Nabi Ibrahim ini diceritakan kepada setiap muslim, agar hamba-hamba-Nya yang beriman itu dapat mengambil hikmah dari keteladanan yang dicontohkan Nabi Ibrahim ‘Alaihissalam, termasuk kejujurannya, sikap tauhidnya dan kualitas pribadi beliau sebagai seorang nabi & rasul kesayangan Allah SWT.
Keteladanan Nabi Ibrahim
Tentulah, tulisan kajian yang singkat ini tidak bisa mengungkapkan betapa banyaknya dan beragamnya sikap Nabi Ibrahim ‘alaihissalam yang bisa dijadikan teladan yang baik bagi kita semua. Oleh karena itu, tulisan ini akan menampilkan sebagian (kecil) saja dari keteladanan beliau yang (semoga) bisa kita tiru dalam keseharian kita.
Mari kita perhatikan beberapa ayat berikut:
إِنَّ إِبْرَٰهِيمَ كَانَ أُمَّةً قَانِتًا لِّلَّهِ حَنِيفًا وَلَمْ يَكُ مِنَ ٱلْمُشْرِكِينَ
شَاكِرًا لِّأَنْعُمِهِ ۚ ٱجْتَبَىٰهُ وَهَدَىٰهُ إِلَىٰ صِرَٰطٍ مُّسْتَقِيمٍ
وَءَاتَيْنَٰهُ فِى ٱلدُّنْيَا حَسَنَةً ۖ وَإِنَّهُۥ فِى ٱلْءَاخِرَةِ لَمِنَ ٱلصَّٰلِحِينَ
ثُمَّ أَوْحَيْنَآ إِلَيْكَ أَنِ ٱتَّبِعْ مِلَّةَ إِبْرَٰهِيمَ حَنِيفًا ۖ وَمَا كَانَ مِنَ ٱلْمُشْرِكِينَ
Artinya:
Sesungguhnya Ibrahim adalah seorang imam yang dapat dijadikan teladan lagi patuh kepada Allah dan hanif. Dan sekali-kali bukanlah dia termasuk orang-orang yang mempersekutukan (Tuhan), (lagi) yang mensyukuri nikmat-nikmat Allah. Allah telah memilihnya dan menunjukinya kepada jalan yang lurus. Dan Kami berikan kepadanya kebaikan di dunia. Dan sesungguhnya dia di akhirat benar-benar termasuk orang-orang yang saleh. Kemudian Kami wahyukan kepadamu (Muhammad): “Ikutilah agama Ibrahim seorang yang hanif” dan bukanlah dia termasuk orang-orang yang mempersekutukan Tuhan. QS. An-Nahl [16]:120-123
Beberapa keteladanan Nabi Ibrahim ‘alaihissalam adalah:
- Menjadi imam (pemimpin)
- Patuh kepada Allah
- Hanif (lurus)
- Tidak mempersekutukan Allah.
- Mensyukuri nikmat Allah.
Terhadap hamba Allah yang mengikuti sifat dan sikap Nabi Ibrahim ini, Allah SWT akan memberikan beberapa keutamaan berikut ini:
- Menjadi hamba yang dipilih oleh Allah (layak diselamatkan).
- Mendapat jalan kehidupan yang lurus oleh Allah.
- Mendapat kebaikan di alam dunia.
- Mendapat pengakuan dari Allah sebagai hamba-Nya yang shaleh di alam akhirat kelak, di dalam Surga-Nya.
Maka, jika seorang hamba Allah ingin mendapatkan keutamaan-keutamaan dari empat hal tersebut di atas, jalanilah perintah Allah yang ada di ujung ayat ini yaitu: “Ikutilah agama Ibrahim yang hanif!” Ini berarti, setiap muslim hendaklah mengerjakan hal-hal yang juga dikerjakan oleh Nabi Ibrahim ‘alaihissalam.
- Menjadi Imam / Pemimpin
Pemimpin yang dimaksud bukan hanya terhadap masyarakat yang ada dibawah kepemimpinan seseorang, namun juga setiap dari kita adalah pemimpin. Artinya, kita sebagai individu pun harus (baca: wajib!) memimpin diri sendiri untuk tetap berada di jalan yang benar. Demikianlah pesan dari Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam mengenai kepemimpinan (HR. Al-Bukhari).
Sedangkan pesan dari Al-Qur’an QS. An-Nahl [16]:90, terdapat tiga perintah dan tiga larangan bagi seorang pemimpin yang baik, yaitu:
- Tiga perintah: berlaku adil; berbuat kebajikan; berbuat baik kepada kerabat (termasuk menyambung silaturahim).
- Tiga larangan: berbuat keji; berbuat mungkar; bermusuhan.
- Patuh kepada Allah (dan Rasul-Nya)
Patuh kepada Allah tentulah belum lengkap jika tidak diikuti kepatuhan kepada Rasul-Nya. Dua hal ini (patuh kepada Allah & kepada Rasul) belumlah cukup. Sebab, sosok Rasul, betapapun mulia dan sholehnya beliau, adalah tetap saja seorang manusia yang juga mengalami kebinasaan. Maka, setelah kehidupan Sang Rasul usai di muka bumi ini, tentulah diperlukan kepatuhan berikutnya dari setiap muslim, yaitu kepatuhan kepada mereka yang mendapat amanah kepemimpinan (ulil amri). Inilah yang dimaksud dalam QS. An-Nisa [4]:59.
Seorang hamba Allah yang patuh kepada-Nya memiliki beberapa ciri atau sifat yang mulia, sesuai QS. Al-Hajj [22]:35, yaitu:
- Qolbu yang bergetar setiap disebut nama Allah
- Sabar terhadap segala hal yang terjadi dalam hidupnya.
- Senantiasa mendirikan shalat.
- Sering bersedekah dari setiap rezeki yang didapatkannya.
- Memiliki Sifat Hanif (lurus)
Secara Bahasa Arab, kata hanif berasal dari kata kerja hanafa yang berarti condong (cenderung). Bentuk jamaknya adalah hunafa (yang secara makna memiliki arti: lurus atau benar).
Kata hanif mengandung pengertian condong (cenderung) menjauh dari segala bentuk kemusyrikan dan di saat yang sama, condong (cenderung) mendekat kepada keyakinan tauhid yang murni. Maka, orang yang hanif sering diartikan sebagai orang yang berserah diri kepada perintah Allah dan dirinya tidak berpaling sedikitpun kepada hal apapun yang akan membuat dirinya menjadi jauh dari Allah. Sifat inilah yang dimiliki Nabi Ibrahim.
Karena memelihara kemurnian aqidah-nya, orang yang memiliki sifat hanif pastilah juga tidak mempersekutukan Allah, sesuai dengan beberapa ayat QS. Al-Baqarah [2]:135, Ali Imran [3]:67 dan 95.
- Tidak mempersekutukan Allah
Musyrik – ini tentulah bukan sifat seorang Nabi atau Rasul. Mereka yang menjadi utusan Allah tentulah tidak memiliki sifat kemusyrikan. Terkait hal ini, mungkin kita pernah mendengar ceramah agama mengenai usaha Nabi Ibrahim dalam mencari sosok Tuhan. Dikatakan bahwa beliau pada awalnya melihat bintang sebagai tuhannya. Kemudian ketika bintang lebih kecil dibandingkan bulan, dia pun beralih ke bulan. Lalu ketika keberadaan bulan terkalahkan oleh matahari, perhatiannya pun pindah ke matahari. Dan ini dicantumkan di dalam Al-Qur’an QS. An-An’am [6]:76-78 tentang penyembahan terhadap bintang, bulan dan matahari. Namun, benarkah Nabi Ibrahim pernah menjadi seorang yang ingkar alias musyrik? Benarkah beliau pernah mencari sosok Tuhan?
Alhamdulillah, Nabi Ibrahim tidak pernah mencari sosok Tuhan, sebab keimanan beliau teramat sangat teguh dan murni. Beliau sesungguhnya sedang dalam proses mengajak kaumnya untuk merenung dan menggunakan akal sehat tentang hakikat Tuhan, yaitu Allah, Rabb Sesungguhnya Yang Maha Esa dan Maha Besar.
Dalil yang menguatkan bahwa beliau tidak mencari sosok Tuhan:
- Allah menegaskan bahwa beliau hanif (lurus) QS. 16:120
- Sedemikian hanif-nya, beliau menolak pertolongan malaikat ketika hendak dilemparkan ke dalam kobaran api dan semata-mata hanya berharap pertolongan Allah saja. Doa beliau ini kemudian diabadikan di dalam Al-Qur’an QS. Ali Imran [3]:173.
- Tidak cukup hanya hanif saja, Allah kembali menegaskan bahwa kekasih-Nya itu bukan seorang musyrik. Penegasan ini berulang disampaikan: QS. Al-Baqarah [2]:135-138; Ali Imran [3]:67; Ali Imran [3]:95; dan Al-An’am [6]:161.
- Allah juga menegaskan, bahwa beliau itu seorang nabi. Predikat kenabian itu didapatkan bukan melalui ikhtiar seorang hamba, namun semata-mata pemberian langsung dari Allah QS. 21:51.
- Mensyukuri Nikmat Allah
Bersyukur – hal yang wajib dilakukan, namun kebiasaan bersyukur ini terkadang sering disepelekan atau diabaikan. Atau mungkin malah jarang dilakukan. Rasa syukur itu hadir karena adanya keikhlasan dalam menerima setiap pemberian dari Allah. Dan sikap ikhlas inilah yang dimiliki seorang Ibrahim ‘alaihissalam.
وَمَنْ أَحْسَنُ دِينًا مِّمَّنْ أَسْلَمَ وَجْهَهُۥ لِلَّهِ وَهُوَ مُحْسِنٌ وَٱتَّبَعَ مِلَّةَ إِبْرَٰهِيمَ حَنِيفًا ۗ وَٱتَّخَذَ ٱللَّهُ إِبْرَٰهِيمَ خَلِيلًا
Dan siapakah yang lebih baik agamanya dari pada orang yang ikhlas menyerahkan dirinya kepada Allah, sedang diapun mengerjakan kebaikan, dan ia mengikuti agama Ibrahim yang lurus? Dan Allah mengambil Ibrahim menjadi kesayangan-Nya. QS. An-Nisa [4]:125.
Perhatikan urutan perilaku seorang muslim dari ayat di atas:
Pertama, Ikhlas menyerahkan diri sepenuhnya kepada ketetapan Allah.
Kedua, tetap mengerjakan amal sholeh (berusaha semampunya).
Ketiga, semua usahanya itu harus sejalan dan searah, seperti yang sudah dicontohkan oleh Nabi Ibrahim (beragama dengan lurus).
Jika ketiga hal ini dikerjakan dengan sebaik-baiknya, maka dia akan menjadi hamba kesayangan Allah, sebagaimana Allah telah mengambil seorang manusia bernama Ibrahim menjadi hamba kesayangan-Nya.
Marilah kita tutup tulisan ini dengan shalawat Ibrahimiyyah:
اللَّهُمَّ صَلِّي عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى إِبْرَاهِيمَ إِنَّكَ حَمِيدٌ مَجِيدٌ،
اللَّهُمَّ بَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا بَارَكْتَ عَلَى إِبْرَاهِيمَ إِنَّكَ حَمِيدٌ مَجِيدٌ
“Ya Allah, berilah (tambahkanlah) shalawat (sanjungan) kepada Muhammad dan kepada keluarga Muhammad, sebagaimana Engkau telah memberi shalawat kepada Ibrahim dan kepada keluarga Ibrahim, sesungguhnya Engkau Maha Terpuji (lagi) Maha Mulia.
Ya Allah, berilah berkah (tambahan kebaikan) kepada Muhammad dan kepada keluarga Muhammad, sebagaimana Engkau telah memberi berkah kepada Ibrahim dan keluarga Ibrahim, sesungguhnya Engkau Maha Terpuji (lagi) Maha Mulia.”
Wallahu a’lam bishawab.
0 Comments